Desain Kurikulum Pendidikan di Era Digital
Desain Kurikulum Pendidikan di Era Digital
Perubahan dan
perkembangan global memberikan tantangan tersendiri kepada pendidikan.
Perubahan yang cepat dan masif dalam bidang ekonomi, teknologi, dan sosial
membutuhkan transformasi pendidikan untuk menjawab kebutuhan pengembangan
manusia yang mampu berkiprah pada era global dan membangun kreativitas dan
potensi untuk berinovasi dalam berbagai bidang kehidupan. Sejak tahun awal
tahun 2000 potensi teknologi digital untuk mentransformasi pendidikan telah
banyak dibahas dan digunakan dalam berbagai skema pendidikan. Hal ini dipicu
oleh pendapat bahwa pendidikan tradisional tidak lagi dapat secara intensif
melibatkan mahasiswa dalam proses pembelajaran dan mendidik mereka untuk
mencapai kemampuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup pada Abad 21. Teknologi digital
dinilai sebagi alat yang dapat mengaktifkan mahasiswa/siswa untuk mengasah
kemampuan memecahkan persoalan yang otentik pada sesuai jaman, bukan bersikap
sebagai penerima pasif ilmu pengetahuan dari guru atau dosen. (Suciati, 2018)
Proses pembelajaran
harus berkembang dengan cepat. Tidak lagi memaksakan cara mendidik 100 tahun
lalu dilakukan saat ini. Ketersediaan terabyte informasi dari revolusi digital
sangat penting untuk masa depan. Dunia IPTEK yang bergerak dan berubah begitu
cepat, menuntut kesiapan SDM para pendidik, baik mental maupun spiritual.
Betapa tidak memasuki abad 21 ini, dibutuhkan guru yang berkompeten dan
profesional, serta terampil. Sebab, memasuki abad 21 yang ditandai dengan
pembelajaran berbasis ICT, dengan pendekatan 4C (Critical thinking,
collaboration, creativity, and communication). Jangan sampai seorang pendidik
memiliki penyakit TBC (tidak bisa computer), mengingat anak didik lebih akrab
dengan dunia teknologi dan komunikasi. Keterbelakangan guru dalam dunia iptek
akan menjadi bumerang yang akan memengaruhi profesionalitas keguruannya.
(Ngongo, dkk, 2019).
Paperless juga merupakan
salah satu trend era digital dimana penggunaan kertas menjadi lebih sedikit.
Kita tidak harus mencetak foto maupun dokumen yang dibutuhkan pada kertas,
melainkan dalam bentuk digital. Penyimpanan secara digital lebih aman daripada
menyimpan bermacam dokumen dalam bentuk kertas. Digitalisasi dokumen berbentuk
kertas menjadi file elektronik menjadi lebih mudah dalam berbagi salah
satunya e-book. Dengan e-book kita tidak lagi
harus menyimpan buku-buku yang tebal secara fisik dan membutuhkan tempat
yang luas. Dengan file digital juga
dokumen menjadi jelas lebih ringkas yang setiap saat dapat dibuka melalui
komputer dan ponsel. (Setiawan, 2017)
Yang jadi permasalahan
kolektif dunia pendidikan kita saat ini adalah guru abad XX (yang lahir tahun
di bawah 2000) masih gagap teknologi. Sedangkan murid yang dihadapi adalah
manusia abad XXI yang tentu beda dalam asupan gizi keilmuan teknologi.
Sederhananya, banyak anak didik kita saat ini lebih cerdas dalam dunia
teknologi daripada gurunya. Kesenjangan semacam ini tidak bisa dibiarkan begitu
saja agar tidak berakibat fatal dalam proses pendidikan. Munculnya media
komunikasi yang tidak hanya berbasis pesan (audio) menjadi candu bagi anak-anak
muda sekarang. Terlebih lagi akan sebuah aplikasi komunikasi yang dilengkapi
dengan media audio visual. Tak sedikit dari anak didik bangsa ini
memperlihatkan gambar (amoral), yang menurut mereka merupakan sesuatu yang
trendi. Ironisnya, guru tidak mengetahui apa yang dilakukan anak didiknya
karena tidak memiliki aplikasi serupa. Ini adalah sebuah problema yang tidak
bisa dipandang sebelah mata. Lewat salah satu aplikasi yang paling digandrungi,
anak remaja hari ini berlomba-lomba mempertontonkan foto-foto mereka yang
paling bergengsi.
Kualitas guru yang
hampa akan teknologi tidak akan mampu menanamkan βdaya kritisβ kepada murid
untuk menjadi manusia revolusioner. Sehingga mereka terhambat untuk menggali
potensi dirinya. Guru yang gaptek (gagap teknologi) akan menurunkan derajat
kredibilitasnya di hadapan para muridnya sehingga murid cenderung bersikap
underestimate, seolah-olah guru adalah orang dungu di tengah dunia
metropolitan. Ini fenomena yang sering ada dan terjadi di sekeliling kita. Guru
boleh produk tahun 90-an, tapi kapasitas keilmuannya tidak boleh kalah dengan
persaingan zaman.
Kreativitas dan Inovasi
untuk menjawab tantangan pendidikan di era digital menjadi salah satu kunci
untuk memajukan pendidikan dan meng-upgrade kualitas pendidik agar pendidik dapat
meberikan pendidikan yang diharapkan oleh peserta didik di era digital.
Sekarang ini tidak bisa dipungkiri bahwa era digital sudah menjadi sahabat
milenial. Kita sebagai pendidik tidak bisa semerta merta mendidik peserta didik
dengan mentiadakan alat teknologi di kehidupannya, karena teknologi sudah
bagaikan darah bagi kaum milenial.
Berdasarkan hal ini
pendidik harus mampu mengolah bagaimana teknologi yang sudah melekat pada
peserta didik dapat digunakan dengan baik dalam melaksanakan sistem belajar mengajar
demi mengahadapi dunia pendidikan di era digital, peran pendidik dalam
menginovasi dan berkreativitas untuk mengolah teknologi yang ada sudah wajib
melekat pada pendidik itu sendiri, tidak memandang dari tahun berapa pendidik
itu lahir, pendidik harus mampu menyinkronkan keadaannya dengan keadaan zaman
yang semakin lama semakin berkembang dengan pesat. Jika sistem beajar mengajar
yang diajarakan oleh peserta didik masih saja dengan cara-cara yang kuno ini
tentu akan membuat peserta didik merasa jenuh dan malas dalam melaksanakan
pendidikan formal.
Berdasarkan fakta yang
telah di paparkan diatas, memang tidak ada yang bisa memprediksi secara konkrit
bagaimana keadaan pendidikan di masa yang akan datang, namun sedikit banyaknya
kita bisa belajar dari masalalu dan masa sekarang agar dapat melihat bagaimana
kondisi kedepan dunia pendidikan. Oleh karena itu pendidik mau tidak mau harus
bisa memanfaatkan teknologi yang ada. Terlebih lagi penggunaan Hp/smartphone
pada setiap anak sudah bagaikan nyawa bagi anak anak milenial sekarang ini,
kita sebagai pendidik harus bisa mengolah bagaimana penggunaan smartphone/Hp
oleh anak anak milenial bisa menjadikan kegiatan belajar mengajar yang lebih
efektif. Misalkan setelah kegiatan belajar mengajar disekolah dilakukan, kita
bisa memberikan Pr yang berkaitan atau berhubungan dengan penggunaan
smartphone/Hp seperti membuat video tentang pembelajaran yang telah diajarkan
disekolah tadi sebut saja IPA, kita bisa memberikan tugas agar anak anak
membuat video mengenai pembelajaran IPA dan nantinya di kirimkan ke
guru/dosennya, bisa juga kita menyuruh peserta didik agar memanfaatkan media
sosial yang ada untuk meng-upload video yang telah dibuatnya, dengan demikian
penggunaan smartphone/Hp oleh kaum milenial tidak hanya semata mata
menghabiskan waktu yang tidak ada gunanya, namun lebih dari itu, banyak manfaat
yang bisa kita berikan tentunya dengan inovasi dan kreativitas pendidik.
Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Surahman (2019) tentang βintegrated mobile
learning system (imoles) sebagai upaya mewujudkan masyarakat pebelajar unggul
era digitalβ Temuan teknologi internet dan perkembangan teknologi smartphone
melahirkan adopsi inovasi dalam berbagai bidang kehidupan umat manusia, salah
satunya muncul istilah pembelajaran bergerak (mobile learning) dalam bidang
pendidikan. Mobile learning sebagai sebuah inovasi dalam bidang pembelajaran
memungkinkan proses pembelajaran menjadi lebih fleksibel tidak terpaku harus
selalu di dalam kelas, laboratorium, dan berorientasi dominan kepada guru
(teacher centered), melainkan pembelajaran memungkinkan untuk dilakukan secara
mandiri oleh peserta didik (student centered).
Namun dalam melaksanakan
kurikulum berbasi digital, semerta merta tidak sepenuhnya peran dari pendidik
dan peserta didik di lingkungan formal, hal ini juga harus didukung oleh
lingkungan informal yang paling berpengaruh, dimana peran orang tua dalam
mengajar anaknya untuk lebih bijak menggunaka Hp/Smartphone atau alat
elektronik lainnya juga menjadi kunci utama, karena pendidikan informal sangat
berpengaruh pada anak untuk mendukung anak sukses dalam melakukan pendidikan
formalnya, jadi dengan demikian tidak hanya peran guru atau pendidik yang harus
bisa menyesuaikan kapasitasnya dengan perkembangan zaman, disamping itu peran
orang tua juga harus bisa berkontribusi kepada anaknya sesuai dengan keadaan
zaman yang semakin lama semakin canggih, orang tua juga diharapkan tidak gagap
teknologi.
Agar lulusan bisa
kompetitif, kurikulum perlu orientasi baru, sebab adanya era revolusi industri
4.0, tidak cukup literasi lama (membaca, menulis, dan matematika) sebagai modal
dasar untuk berkiprah di masyarakat menurut Ahmad, I, 2018 (Aoun, MIT, 2017),
ada tiga kelompok literasi era revolusi industri 4.0, yaitu:
a) Literasi
Data: kemampuan untuk membaca, analisis, dan menggunakan informasi (Big Data)
di dunia digital.
b) Literasi
Teknologi: memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (Coding, Artificial
Inteligence, dan Engineering Principle)
c) Literasi
Manusia: Humanities, Komunikasi
Menurut Muhadjir
Effendy (Mantan Mendikbu) bahwa pendidikan perlu merevisi kurikulum dengan
dengan menambahkan lima kompetensi dalam memasuki era revolusi industri 4.0,
yaitu:
1. Diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan berpikir kritis
2. Diharapkan
peserta didik memiliki kreativitas dan memiliki kemampuan yang inovatif
3. Perlu
adanya kemampuan dan keterampilan berkomunikasi yang dimiliki peserta didik
4. Bekerja
sama dan berkolaborasi
5. Peserta
didik memiliki kepercayaan diri
Tenaga pendidik di era revolusi industri 4.0
harus mampu meningkatkan pemahaman dalam mengekspresikan diri di bidang
literasi media, memahami informasi yang akan dibagikan kepada peserta didik
serta mampu menemukan analisis untuk menyelesaikan permasalahan akademis
literasi digital. Harapannya, semua pihak harus meningkatkan kolaborasi dalam
orientasi pedidikan mendatang serta
mengubah kinerja sistem pendidikan yang dapat mengembangkan kualitas pola pikir
pelajar dan penguatan digitalisasi pendidikan yang berbasis aplikasi.
Dalam melakukan sitim
belajar mengajar pendidik juga harus bisa melakukan atau mengaktifkan whole
brain para peserta didik (otak kiri dan kanan) yang mana selama ini peserta
didik hanya memainkan otak kiri para peserta didiknya, dalam melakukan whole
brain pendidik dapat melakukan radiant thinking untuk mengaktifkan otak kira
dan kanan dari peserta didik, Prinsipnya sederhana, cukup ikuti kemana otak
berpikir, apa yang terlintas, apa yang teringat, dan tuliskan di atas kertas
dalam bentuk coretan yang berkait-kaitan. Coretan tersebut dimulai dari tengah
kertas sebagai pusat, kemudian mengembang keluar ke arah tepi kertas. Inilah konsep
radiant thinking. dan proses pembelejaran mendengar-mencatat-menghafal sudah
waktunya diganti dengan mencari-merangkai-dan memahami. Karena walaupun masa
depan tidak bisa kita prediksi, namun masa depan itu milik orang-orang yang
bisa melihat berbagai kemungkinan kemungkinan.
Sebagai kesimpulannya
desain kurikulum pendidikan anak, sudah saatnya di desain sesuai dengan desain
kurikulum berbasi digital, karena zaman yang semakin lama semakin berkembang
menuntut untuk mengkedepankan teknologi, jadi desain kurikulum digital menjadi
hal yang tepat dalam mewujudkan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Desain
kurikulum di era digital menuntut pendidik dapat berkembang dan menyesuaikan
dirinya dengan perubahan zaman yang semakin lama semakin cepat, jadi tidak ada kata
terlambat untuk menguasai dan memahami teknologi yang berkembang, pendidik juga
harus bisa melakukan pengembangan otak kanan dari peserta didik, tidak hanya
mengandalkan otak kiri dari peserta didik, karena kreativitas inovasi dari
peserta didik harus di eksplore maka dari itu pendidik harus pandai melihat dan
mengolah bagaimana cara mengajar dan melakukan sistim belajar mengajar sesuai
dengan perkembangan zaman.
Referensi
Ngongo,
V. L., Hidayat, T., & Wiyanto, W. (2019, July). Pendidikan Di Era Digital. In Prosiding Seminar Nasional Program Pascasarjana Universitas Pgri
Palembang.
Setiawan, W. (2017). Era digital dan tantangannya.
Suciati, S. (2018). Pengembangan Kreativitas Inovatif Melalui Pembelajaran Digital.
Jurnal Pendidikan, 19(2), 145-154.
Surahman,
E. (2019). Integrated Mobile Learning
System (Imoles) Sebagai Upaya Mewujudkan Masyarakat Pebelajar Unggul Era
Digital. JINOTEP (Jurnal Inovasi Dan Teknologi Pembelajaran)
Kajian Dan Riset Dalam Teknologi Pembelajaran, 5(2), 50-56.
Yusnaini,
Y., & Slamet, S. (2019, March). Era
Revolusi Industri 4.0: Tantangan Dan peluang Dalam Upaya Meningkatkan Literasi
Pendidikan. In Prosiding
Seminar Nasional Program Pascasarjana Universitas PGRI Palembang (Vol.
12, No. 01).
wah, terimakasih
BalasHapusMantap kali ..
BalasHapusBener kelamaan dieum di rumah otak jadi ngebul ..
Wkwkwk ππππππ
hahah, minjem otak orang itu mah wkwk
BalasHapus